Preferensi Penikmat Musik Amatiran

Semenjak duduk di bangku SD, saya menyadari bahwa saya adalah penikmat musik. Relasi saya dengan musik tidak bisa lepas dari peranan Ayah dan Ibu saya yang dulu hampir setiap pagi memutar kaset diaudio tape. Ibu saat itu menyukai lagu Pop Indonesia di jaman 90an seperti Nike Ardila, Inka Cristie dsb. Dari sisi Ayah, musik “barat” sering diputar seperti The Beatles, Queen, Bee Gees dsb. di lingkungan keluarga besar Ayah, -saya yang dikelilingi oleh sepupu yang usianya 3-4 tahun lebih tua juga diperkenalkan dengan musik yang lebih luas lagi. Saya masih ingat ketika liburan sekolah di tahun 90an saya bermain bersama di kamar dengan ditemani album macam Blur, Green Day, Rancid dan bahkan musisi underground Bandung seperti Koil dan Dajjal. Mungkin saya harus meminta pertanggungjawaban mereka atas selera music yang saya anut saat ini. 🙂

Menginjak usia SMP dengan semakin luasnya pergaulan dengan skala yang lebih variatif. Referensi musik saya juga banyak dipengaruhi oleh beberapa teman yang saat itu sedang mewabah music punk dan ska. Mulai saat itu preferensi music saya mulai cenderung kepada musin non mainstream yang tidak banyak disukai orang. Saat itu memiliki rilisan (walaupun bootleg) macam No Use For A Name, Me First and The Gimme Gimmes, Lagwagon, Not Available, The Ataris dsb merupakan identitas baru yang tersemat dalam diri saya. Selain rilisan yang saat itu sedang umum beredar dipasaran seperti Korn, Limp Bizkit, Rage Against The Machine atau Linkin Park. Dulu, di era 2000an awal, ritual hunting rilisan kaset di toko musik adalah sesuatu yang menyenangkan. Lokaasi macam Duta Suara, Aquarius dsb adalah momen paling saya nantikan dalam periode remaja saya. Jika beruntung, saya bisa mendapatkan lirisan yang langka. Momen yang sama ketika mendapatkan album MXPX dan NOFX di toko kaset besar merupakan sensasi tersendiri.

Masa SMA bagi saya adalah masa yang paling membentuk preferensi music yang lebih luas sekaligus spesifik diwaktu yang sama. Di medio tahun 2001-2004 saya berkenalan dengan beberapa genre music dari mulai Brit Pop, Alternatif, Punk, Hard Core, Trash Metal, Trash Core dan Metal Core. Genre-genre ini yang cukup membentuk preferensi musik saya hingga saat ini. 

Hal ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Daniel J Levitin, Psikolog di McGill University bahwa, manusia membentuk selera musiknya sejak usia 14 tahun dan berhenti bereksplorasi pada usia 24 tahun. Di rentang usia inilah saya banyak mendengarkan music yang saya dapati dari berbagai sumber.

Pada masa SMA dan Kuliah Awal, musik bagi saya adalah sebuah identitas. Identitas pembeda antara saya dan orang lain. Terlebih jika bertemu dengan orang yang menyukai genre dan band yang sama, rasanya seperti bertemu saudara jauh yang langsung akrab seketika. Konsekuensi dari kegemaran saya dalam menyukai music adalah kegemaran saya untuk mengumpulkan rilisan fisik dari mulai kaset, CD dan kini piringan hitam (vinyl). Memang tidak terlalu banyak, tetapi saya masih menggemari rilisan fisik dari album-album yang menurut saya layak untuk dibeli atau dikoleksi.

Beberapa lirisan musisi local yang terakhir saya dengarkan adalah musisi yang menurut saya cukup bagus untuk saya dengarkan diusia saya semacam Barasuara, Sigmun dan Mooner tetapi saya juga saat ini cukup nyaman dengan beberapa rilisan local bandung seperti Grimloc Records seperti Bars of Death dan Rand Slam yang memberikan nostalgia masa mendengarkan Homicide di kampus dengan sound yang lebih manusiawi. Untuk disebutkan terakhir, saya berencana untuk membuatkan tulisan terpisah.

Sedikit latarbelakang singgungan saya dengan musik tersebut akan menjadi penambah cetak biru corak pemikiran saya baik pemahaman akan hidup, perjuangan dan pandangan sosial yang nantinya juga akan mewarnai perjalanan hidup saya.